Di taman kecil belakang rumahnya, Luna punya banyak bunga berwarna-warni. Ada mawar merah, melati putih, dan lavender ungu. Tapi, bunga yang paling Luna sayang adalah bunga matahari yang tinggi menjulang, dengan kelopak kuning cerah seperti senyum matahari. Luna memanggilnya Mama Bunga.
Dulu, Mama Bunga selalu tersenyum lebar dan ceria. Tapi akhir-akhir ini, senyumnya mulai pudar. Daun-daunnya sedikit layu, dan kelopaknya tidak secerah dulu. Luna, yang akhir-akhir ini terlalu asyik bermain boneka dan membaca buku petualangan, sering lupa menyiram Mama Bunga setiap hari, lupa memberinya pupuk, dan lupa mengajaknya bicara.
Suatu sore, saat Mama Bunga terlihat sangat lesu dan menunduk, Luna merasa sedih sekali. Ia mendekat, menyentuh kelopak Mama Bunga yang terkulai dengan hati-hati. “Maafkan Luna, Mama Bunga,” bisiknya pelan.
Tiba-tiba, dari balik salah satu kelopak Mama Bunga yang paling besar, Luna melihat kilauan kecil. Berpikir itu adalah embun yang tertinggal, Luna mendekatkan wajahnya. Tapi, itu bukan embun! Ada sesosok mungil, sekecil ibu jarinya, dengan sayap transparan seperti kupu-kupu dan gaun dari kelopak bunga matahari yang bersembunyi di sana. Ia berkilauan seperti bintang kecil! Matanya sebesar biji jagung, tapi memancarkan kehangatan dan kebaikan.
Peri mungil itu terbang sedikit, lalu tersenyum manis pada Luna. “Halo, Luna,” bisiknya dengan suara gemerincing seperti lonceng angin. “Namaku Bintang. Aku peri bunga di tamanmu.”
Luna terkejut bukan main! Ia mengucek matanya, tapi Bintang masih ada di sana, melayang-layang di depannya. “Peri bunga?” tanya Luna tak percaya. “Jadi, peri itu benar-benar ada?”
Bintang terkekeh pelan. “Tentu saja! Kami selalu ada di mana ada bunga yang tumbuh. Mama Bunga sedang sakit, ya?” tanya Bintang, menunjuk Mama Bunga dengan tangannya yang mungil.
Luna mengangguk sedih. “Iya, Bintang. Aku lupa merawatnya.”
Bintang mengangguk paham. “Semua tanaman butuh cinta dan perawatan, Luna. Air, sinar matahari, dan sedikit obrolan darimu membuat mereka bahagia dan kuat.” Bintang terbang mengitari kelopak Mama Bunga yang layu. “Bintang bisa bantu membuat Mama Bunga kembali segar, tapi ada syaratnya,” kata Bintang, matanya berbinar.
“Apa syaratnya?” Luna bertanya penuh harap.
“Luna harus janji, mulai sekarang, Luna akan lebih rajin merawat semua tanaman di taman ini. Menyiramnya, membersihkan daun-daunnya, dan mengajaknya bicara setiap hari. Bukan hanya Mama Bunga, tapi semua tanaman!” Bintang menjelaskan dengan serius.
Luna berpikir sejenak. Merawat semua tanaman? Itu pekerjaan yang lumayan banyak. Tapi melihat Mama Bunga yang layu, Luna tidak tega. Ia ingin Mama Bunga tersenyum ceria lagi. “Aku janji, Bintang! Aku akan rajin sekali!” seru Luna mantap.
Bintang tersenyum senang. Ia terbang mengitari Mama Bunga, dan dari sayapnya yang berkilau, serbuk keemasan berjatuhan. Serbuk itu mendarat di daun-daun dan kelopak Mama Bunga. Perlahan, Luna melihat keajaiban! Daun-daun Mama Bunga mulai terangkat, kelopaknya kembali mekar, warnanya menjadi kuning cerah lagi! Mama Bunga tersenyum lebar, lebih lebar dari sebelumnya!
Sejak hari itu, Luna benar-benar menepati janjinya. Setiap pagi, ia bangun lebih awal untuk menyiram tanamannya. Ia membersihkan gulma kecil, bahkan sering mengajak mereka bernyanyi. Bintang selalu ada di sana, terkadang bersembunyi di antara kelopak bunga mawar, terkadang terbang di dekat kuping Luna, memberinya semangat. Taman Luna menjadi taman paling indah di seluruh komplek. Semua bunga mekar dengan bahagia, dan Mama Bunga menjadi yang paling megah.
Luna belajar satu hal penting: merawat sesuatu dengan cinta adalah sebuah keajaiban. Bukan hanya peri bunga yang bisa membuat tanaman subur, tapi juga ketulusan hati dan tanggung jawab kita. Setiap kali Luna melihat Mama Bunga tersenyum, atau mendengar Bintang berbisik riang, ia tahu bahwa persahabatan dan keajaiban ada di mana-mana, asalkan kita mau membuka hati dan sedikit berusaha untuk merawat alam di sekitar kita.
Komentar
Posting Komentar