Si Jago dan Bu Hani

Di tengah riuhnya Pasar Ceria, hiduplah seekor Ayam Jago bernama Jago. Ia terkenal karena suaranya yang lantang dan percaya dirinya. Setiap pagi, Jago selalu berkokok dengan semangat, membangunkan seluruh pasar.

Suatu hari, Jago melihat Bu Hani, seorang penjual kue tradisional yang sudah lanjut usia, kesulitan mengangkat keranjang kue. Bu Hani tampak kelelahan dan terhuyung-huyung. Jago, dengan percaya dirinya, langsung menyahut, “Hoi, Bu Hani! Biar aku bantu! Aku kuat, kok!”

Namun, alih-alih membantu, Jago malah berlari mendekat dan memamerkan kekuatannya. “Lihat, Bu Hani! Aku bisa melompat tinggi! Aku bisa berlari cepat! Aku ayam jago paling hebat di pasar ini!” serunya sambil melompat-lompat di sekitar keranjang kue.

Bu Hani hanya tersenyum lelah. “Terima kasih, Jago. Tapi, Ibu hanya butuh sedikit bantuan untuk mengangkat keranjang ini. Tidak perlu pamer, Nak.”

Jago terdiam. Ia baru menyadari, Bu Hani tidak membutuhkan pertunjukan, melainkan bantuan yang tulus. Ia merasa malu karena telah bersikap kurang sopan kepada orang yang lebih tua. “Maafkan aku, Bu Hani,” ucap Jago pelan.

Dengan hati-hati, Jago mendekati keranjang kue dan membantunya mengangkatnya ke gerobak. Ia melakukannya dengan tenang dan penuh perhatian. Bu Hani tersenyum hangat. “Terima kasih banyak, Jago. Kamu memang ayam jago yang hebat, tapi yang lebih hebat lagi adalah hatimu.”

Sejak saat itu, Jago belajar untuk lebih menghormati orang yang lebih tua. Ia tetap berkokok dengan semangat, tapi ia juga belajar untuk bersikap sopan dan membantu sesama. Ia mengerti bahwa kekuatan sejati bukan hanya terletak pada fisik, tetapi juga pada hati yang baik dan disiplin dalam bertindak.

Setiap pagi, Jago tetap menjadi ayam jago yang membangunkan pasar, tapi kini ia juga menyempatkan diri untuk membantu para pedagang lain, terutama Bu Hani. Pasar Ceria pun menjadi semakin ramai dan penuh kebersamaan, berkat semangat gotong royong dan rasa saling menghormati.

Komentar